Episode 18: Fondasi Mimpi di Atas Tanah Berbatu
Pagi pertama kami di lokasi proyek pabrik rolling mill dimulai dengan udara dingin dan kabut tipis yang menyelimuti kawasan industri. Suara alat berat yang bekerja di kejauhan seolah menjadi musik latar perjalanan baru kami. Langit tampak cerah, pertanda hari ini akan menjadi hari yang panjang dan penuh tantangan.
Aku berdiri di tengah area proyek, memandangi tanah yang akan kami ubah menjadi fondasi pabrik. Tim sudah mulai bekerja, tapi aku tahu tahap awal seperti ini selalu kritis. Fondasi adalah segalanya, baik untuk bangunan maupun perjalanan kami ke level yang lebih tinggi.
“Fi, ini tanahnya lebih keras dari yang kita perkirakan,” kata Udin, sambil memegang peta geoteknik yang baru saja kami terima dari klien. “Kita harus pakai teknik pemadatan tambahan, kalau nggak, pondasinya nggak akan cukup stabil.”
Aku mengangguk sambil memeriksa peta itu. “Kita harus segera sewa alat pemadat tambahan. Kalau tanahnya nggak kuat, konstruksi di atasnya bisa bahaya.”
Hami menghampiri kami dengan wajah sedikit cemas. “Fi, ada satu masalah lagi. Alat berat yang kita pesan dari depot penyewaan belum datang. Mereka bilang truk pengangkutnya terjebak macet di jalan masuk kawasan industri.”
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang. Dalam proyek sebesar ini, kendala seperti ini memang sering terjadi, tapi tetap saja, waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kami buang percuma.
“Baik, Ham. Kita cari solusi sementara. Udin, cek alat berat yang sudah kita punya di sini. Apa yang bisa kita optimalkan dulu untuk memulai pekerjaan?”
Udin mengangguk cepat dan langsung bergerak. Sementara itu, aku mengumpulkan Beni dan Adin untuk membahas perubahan jadwal kerja agar tidak terlalu banyak waktu terbuang.
Setelah beberapa jam berlalu, alat berat akhirnya tiba. Dengan bantuan tim yang cekatan, kami mulai mengolah tanah dengan lebih intensif. Langkah demi langkah, pekerjaan fondasi berjalan lebih lancar.
Namun, siang itu, matahari mulai terik, dan para pekerja mulai terlihat kelelahan. Aku memutuskan untuk mengumpulkan mereka di tenda untuk istirahat sejenak.
“Teman-teman, terima kasih untuk kerja keras kalian. Kita baru di tahap awal, tapi setiap langkah ini penting. Ingat, fondasi adalah inti dari semua ini. Kalau fondasi kita kuat, bangunan ini akan bertahan lama, dan kita semua akan bangga dengan hasilnya.”
Seorang pekerja yang lebih tua, Pak Darto, angkat bicara. “Pak Ofi, saya sudah kerja di konstruksi bertahun-tahun, tapi baru kali ini saya lihat bos yang ikut turun langsung kayak gini. Ini bikin kami tambah semangat.”
Aku tersenyum, merasa tersentuh oleh kata-katanya. “Pak Darto, ini bukan cuma proyek saya, tapi proyek kita semua. Kalau kita berhasil, semua orang di sini punya andil besar. Jadi, ayo kita lanjutkan dengan semangat yang sama.”
Malam itu, setelah semua pekerjaan dihentikan sementara, aku duduk sendiri di tepi lokasi proyek. Lampu-lampu besar menerangi area kerja, dan suara jangkrik terdengar di kejauhan. Aku memikirkan perjalanan yang sudah kami lalui sejauh ini.
“Ofi,” suara Hami memecah lamunanku. Ia duduk di sebelahku sambil membawa dua gelas kopi. “Kamu kelihatan mikir berat banget. Ada apa?”
Aku mengambil salah satu gelas kopi dan menyesapnya perlahan. “Nggak ada yang salah, Ham. Cuma... aku sadar, proyek ini bukan sekadar tentang bangunan. Ini tentang pembuktian diri kita, tentang sampai di mana kita bisa melangkah.”
Hami tersenyum kecil. “Kalau aku lihat, kita sudah melangkah jauh. Tapi memang, jalan ini masih panjang. Yang penting, kita nggak berhenti belajar.”
Aku mengangguk, merasa lebih tenang. Langit malam yang gelap di atas kami seolah menjadi pengingat bahwa perjalanan ini masih panjang, dan setiap bintang yang bersinar adalah harapan baru yang harus kami kejar.
“Besok, kita lanjutkan dengan semangat baru, Ham. Ini baru awal,” kataku, lebih kepada diriku sendiri.
Hami mengangguk, lalu berdiri sambil membawa gelas kopinya. “Istirahat, Fi. Kita butuh energi penuh untuk besok.”
Aku tersenyum dan mengangguk, memandang ke arah fondasi yang sedang kami bangun. Dalam hati, aku berjanji: langkah kecil ini akan menjadi lompatan besar, bukan hanya untukku, tapi untuk semua orang yang berjalan bersamaku.