Episode 2: "Langkah Baru, Tantangan Baru"
Hari itu terasa seperti hari-hari lainnya, namun ada sesuatu yang berbeda. Aku baru saja menyelesaikan pemasangan pagar di sebuah rumah, dan merasa mulai ada kepercayaan diri dalam menjalankan usaha ini. Tiba-tiba, aku menerima telepon dari Beni, teman lama yang dulu sering mengobrol denganku di kafe. Beni tahu aku sedang mencoba peruntungan di dunia usaha konstruksi.
"Ofi, gimana kabar? Usahamu lancar nggak?" tanya Beni dengan suara ceria.
"Alhamdulillah, lancar-lancar aja, Ben. Baru saja selesai pasang pagar di rumah orang," jawabku sambil tersenyum, meskipun sebenarnya aku masih merasa kekurangan pengalaman.
"Eh, kalau gitu, aku ada tawaran nih. Ada yang butuh jasa bangun gudang di daerah dekat sini, ada peluang bagus buatmu. Mungkin bisa jadi langkah selanjutnya," ujar Beni, terdengar bersemangat.
Aku terdiam sejenak. Membangun gudang? Itu jauh lebih besar dari sekadar pagar. Tapi di satu sisi, itu juga bisa jadi kesempatan besar untuk berkembang.
"Aduh, Ben, aku belum punya pengalaman bangun gudang. Pagar aja baru pertama kali aku kerjain," aku mengeluh sedikit, ragu-ragu.
"Yah, namanya juga mulai. Kalau nggak dicoba, kapan bisa maju? Aku yakin kamu bisa, Ofi. Kalau butuh bantuan, aku bisa bantu, kok," jawab Beni meyakinkanku.
Aku berpikir sejenak. Udin, teman dekatku yang juga pernah bekerja di proyek konstruksi, selalu bilang kalau setiap usaha harus dimulai dengan percaya diri.
"Baiklah, Ben. Aku coba, deh. Bantuin aku kalau ada yang kurang. Tapi aku juga nggak bisa jamin langsung lancar," aku akhirnya memutuskan.
Hari itu, aku menemui Udin, yang kebetulan sedang duduk di warung kopi sambil menikmati rokoknya. "Ofi, apa kabar?" sapa Udin sambil melirikku.
"Udin, aku dapat tawaran bangun gudang. Gimana menurutmu?" tanyaku, penasaran dengan pendapatnya.
Udin menatapku sejenak, lalu mengangguk. "Peluang bagus, Ofi. Tapi kamu harus hati-hati. Bangun gudang nggak semudah bikin pagar. Semua detail harus diperhitungkan dengan baik. Kalau nggak, nanti bisa jadi masalah," katanya, memberikan nasihat bijak.
Aku mengangguk. "Aku tahu, Din. Makanya aku butuh bantuan. Kalau ada yang kurang, bisa kamu bantuin, kan?"
"Tenang aja, aku bantu. Tapi jangan terburu-buru. Semua butuh waktu," jawab Udin, santai.
Beberapa hari kemudian, aku dan tim mulai bekerja di lokasi proyek gudang. Beni, yang ternyata bekerja sebagai kontraktor, datang menemani untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Hami, seorang tukang bangunan yang baru aku kenal, juga bergabung untuk membantu mengawasi pekerjaan.
"Ofi, jangan lupa periksa materialnya. Kalau ada yang kurang, segera lapor," ujar Hami, mengingatkan saat aku mulai mengecek bahan bangunan.
"Siap, Hami," jawabku sambil menyusun rencana. Aku merasa seperti sedang bermain di level yang lebih tinggi, tetapi kegugupan masih terasa.
Adin, seorang teman dari daerah sebelah yang juga sering membantu di proyek-proyek kecil, datang beberapa hari setelah itu. "Wah, udah mulai gede nih proyeknya!" kata Adin, tersenyum sambil melihat bangunan gudang yang mulai terbentuk.
"Ya, Adin. Aku masih belajar, nih," jawabku dengan senyum kecut. "Semoga semua berjalan lancar."
Hari demi hari berlalu, dan proyek ini semakin menunjukkan perkembangan. Meskipun banyak tantangan, aku merasa semakin percaya diri. Tentu saja, ada banyak percakapan dengan teman-teman seperti Beni, Udin, Hami, dan Adin yang membantu memberi arahan dan dukungan.
"Ofi, bangunan ini pasti selesai tepat waktu," kata Beni, saat kami berdiri di depan gudang yang hampir selesai. "Kamu benar-benar bisa mengatasi tantangan ini."
Aku menatap bangunan yang sedang selesai dibangun itu, merasa bangga. "Terima kasih, Ben. Aku nggak bisa jalan sendirian. Dukungan kalian sangat berarti."
Dengan hati penuh harapan dan keyakinan, aku melangkah maju. Membangun gudang ini bukan hanya soal bangunan fisiknya, tetapi tentang membangun pondasi usaha yang lebih kuat. Aku tahu, ini baru awal dari perjalanan panjangku.